Berikut adalah kajian pagi di bukit lebah ba’da subuh, yaitu pembahasan tentang derajat mimpi atau di sebut juga ru’ya sadiqah (mimpi benar). Dalam kajian tersebut Diki Candra selaku ketua Majelis Gaza menegaskan, bahwa Mimpi Benar Lebih Otoritatif Dari Pendapat Siapapun. Lalu kenapa lebih otoritatif?
Berikut penjabaran pernyataan dari Gus Baha. Bahwa mimpi baik saat ini, lebih otoritatif dari pendapat siapapun, kecuali Al Qur’an r’an dan Hadits.
Lalu apa itu lebih otoritatif?
“Lebih otoritatif” merujuk pada sesuatu yang dianggap memiliki tingkat kebenaran, keabsahan, atau legitimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hal lainnya. Dalam konteks agama atau pengetahuan, sesuatu disebut lebih otoritatif jika sumbernya diakui memiliki kewenangan atau kepercayaan yang lebih besar, sehingga dapat dijadikan pedoman utama atau rujukan yang lebih kuat.
Studi kasus;
•Bagaimana memutuskan golongan islam mana yang benar? Ini urusan yang sangat serius.
•Bagaimana memutuskan hal menyangkut syariat yang benar?
misalnya persoalan syirik yang serius.
•Jawbannnya :
Istikharah yang antara lain Allahﷻ menjawabnya dalam bentuk mimpi.
Jadi dalam Konteks Islam:
•Al-Qur’an sebagai Sumber yang Paling Otoritatif
Dalam Islam, Al-Qur’an adalah sumber hukum dan pedoman yang paling otoritatif karena merupakan wahyu langsung dari Allahﷻ. Kebenarannya mutlak dan tidak dapat diragukan.
•Hadits Shahih Lebih Otoritatif daripada Hadits Dhaif
Dalam ilmu hadis, hadits yang memiliki sanad dan matan yang kuat (hadits shahih) dianggap lebih otoritatif dibandingkan hadits dhaif (lemah) karena lebih terpercaya dan akurat.
•Mimpi yang Benar (Ru’ya Shadiqah)
Dalam tradisi Islam, mimpi yang benar (ru’ya shadiqah) dari para nabi atau orang saleh dianggap lebih otoritatif dibandingkan pendapat manusia biasa. Namun, ini tidak menggantikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama hukum dan pedoman.
Ciri-ciri Hal yang Otoritatif:
•Berasal dari sumber yang terpercaya: Misalnya, wahyu dari Allahﷻ atau ucapan Nabi Muhammadﷺ.
•Didukung oleh dalil atau bukti kuat: Seperti ayat Al-Qur’an atau hadits yang shahih.
•Diakui oleh otoritas yang sah: Seperti para ulama atau komunitas ilmiah.
Berikut kesimpulan dari penjabaran pernyataan diatas:
Sesuatu disebut lebih otoritatif jika memiliki keunggulan dalam hal kebenaran, kepercayaan, atau kekuatan dibandingkan dengan sumber lain, terutama dalam konteks agama, ilmu, atau hukum. Namun, dalam Islam, otoritas tertinggi selalu merujuk kepada Allahﷻ, Al-Qur’an, dan sunnah Rasulullahﷺ.
Berikut kitab yang menyatakan bahwa mimpi yang baik lebih otoritatif dan lebih benar daripada pernyataan siapapun:
•Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.
Dalam salah satu pembahasannya, Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa mimpi yang baik, terutama mimpi para Nabi atau orang saleh, memiliki kedudukan khusus karena dianggap berasal dari wahyu atau ilham yang diberikan Allahﷻ.
Menurut Al-Ghazali, mimpi yang baik bisa menjadi petunjuk, khususnya jika sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an serta Hadits.
Namun mimpi tetap harus dipahami dengan hati-hati dan tidak bisa dijadikan landasan hukum tanpa verifikasi melalui dalil-dalil agama.
Pernyataan seperti ini di dukung hadits Nabi Muhammadﷺ, di mana beliau bersabda:
“Mimpi yang benar adalah salah satu dari 46 bagian kenabian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, yang membahas tentang mimpi dan memberikan pandangan bahwa mimpi yang benar (ru’ya shadiqah), memiliki otoritas yang signifikan. Beberapa kitab tersebut adalah:
Kitab Tafsir Al-Qurthubi :
Dalam tafsir ini, Al-Qurthubi membahas mimpi dalam konteks kisah Nabi Yusuf AS (Surah Yusuf). Beliau menekankan pentingnya mimpi sebagai salah satu bentuk wahyu, seperti dalam mimpi Nabi Yusuf عَلَیهِ السَّلام atau mimpi Nabi Ibrahim عَلَیهِ السَّلام ketika diperintahkan menyembelih putranya.
Kitab Ar-Ruh karya Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah :
Ibnu Qayyim mendalami pembahasan tentang jiwa (ruh), termasuk mimpi. Ia menjelaskan bagaimana mimpi yang benar (ru’ya shadiqah) adalah bentuk ilham dari Allahﷻ
Kitab Adabul Mufrad karya Imam Bukhari :
Dalam kitab ini, terdapat beberapa hadits yang membahas tentang mimpi, termasuk hadits yang menyebutkan bahwa mimpi yang benar adalah bagian dari kenabian. Imam Bukhari juga mengaitkan pentingnya mimpi dengan kebersihan hati seseorang.
Kitab Madarij As-Salikin karya Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah :
Dalam kitab ini, Ibnu Qayyim membahas berbagai tingkatan spiritual, termasuk pengalaman ruhani seperti mimpi. Mimpi yang benar dapat menjadi petunjuk ilahi.
Kitab Tuhfatul Ahwadzi (syarah Sunan Tirmidzi) :
Meskipun kitab-kitab ini membahas mimpi secara mendalam, penting untuk memahami bahwa otoritas mimpi tetap terbatas dan tidak menggantikan Al-Qur’an, Sunnah, atau ijtihad para ulama. Mimpi lebih bersifat pribadi dan dapat menjadi pelengkap, bukan sumber hukum utama.
AL QUR’AN ISINYA BANYAK BERSUMBER DARI MIMPI
Al-Qur’an memang memuat beberapa kisah yang berkaitan dengan mimpi, terutama mimpi yang memiliki makna penting dalam sejarah kenabian.
Contoh:
1. Mimpi Nabi Yusuf عَلَیهِ السَّلام
Dalam Surah Yusuf (QS. 12:4-6), Nabi Yusuf عَلَیهِ السَّلام menceritakan mimpinya melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan bersujud kepadanya. Mimpi ini menjadi awal kisah perjalanan hidupnya yang penuh hikmah.
2. Mimpi Raja Mesir
Dalam Surah Yusuf juga, disebutkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus, dan tujuh bulir gandum hijau serta tujuh bulir gandum kering. Mimpi ini ditafsirkan oleh Nabi Yusuf عَلَیهِ السَّلام sebagai tanda datangnya masa subur dan masa paceklik.
3. Mimpi Nabi Ibrahim عَلَیهِ السَّلام
Dalam Surah Ash-Shaffat (QS. 37:102), Nabi Ibrahim عَلَیهِ السَّلام bermimpi diperintahkan Allahﷻ untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail عَلَیهِ السَّلام. Mimpi ini adalah wahyu dari Allahﷻ yang menjadi ujian keimanan Nabi Ibrahim عَلَیهِ السَّلام.
4. Mimpi Nabi Muhammadﷺ
Dalam Surah Al-Fath (QS. 48:27), Allah menyebutkan mimpi Nabi Muhammadﷺ tentang kaum Muslimin yang akan memasuki Masjidil Haram dalam keadaan aman. Mimpi ini menjadi kabar gembira bagi umat Islam.
5. Mimpi tentang Perang Badar terdapat dalam (QS. Al-Anfal: 43-44)
Allahﷻ menjelaskan bahwa Nabi Muhammadﷺ diperlihatkan dalam mimpinya pasukan kaum musyrikin dalam jumlah kecil sebelum Perang Badar:
> “(Ingatlah), ketika Allahﷻ memperlihatkan mereka kepadamu di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Sekiranya Allahﷻ memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak, tentu kamu akan menjadi takut dan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allahﷻ telah menyelamatkanmu. Sesungguhnya Allahﷻ Maha Mengetahui segala isi hati.”
Mimpi ini menanamkan keyakinan dan keberanian di hati kaum Muslimin sebelum menghadapi musuh.
6. Mimpi Ashabul Kahfi terdapat dalam (QS. Al-Kahfi: 9-26)
Kisah Ashabul Kahfi tidak secara eksplisit menyebutkan mimpi, tetapi dapat dikaitkan dengan keadaan “tidur panjang” mereka di dalam gua selama 300 tahun lebih. Tidur mereka sering dimaknai sebagai simbol istirahat ruhani dan perlindungan Allahﷻ. Meskipun ini bukan mimpi dalam arti literal, kisah ini memiliki dimensi ruhani yang mendalam.
7. Mimpi Nabi Muhammadﷺ tentang Isra Mi’raj
Dalam Surah Al-Isra (QS. 17:60), Allahﷻ menyebut mimpi Nabi Muhammadﷺ yang berkaitan dengan peristiwa Isra Mi’raj:
> “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilham mimpi) itu adalah ujian bagi manusia…'”
Ayat ini mengisyaratkan bahwa perjalanan luar biasa Nabi dalam Isra Mi’raj juga dikaitkan dengan ilham dan penglihatan ruhani.
8. Mimpi Nabi Musa عَلَیهِ السَّلام dan Bani Israil.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, beberapa tafsir mengaitkan kisah Nabi Musa عَلَیهِ السَّلام yang diperintahkan Allahﷻ untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir dengan petunjuk melalui mimpi. Namun, ini lebih sering ditemukan dalam tradisi tafsir daripada teks Al-Qur’an itu sendiri.
Catatan Penting:
Al-Qur’an memuat kisah-kisah mimpi yang umumnya terkait dengan wahyu, petunjuk, atau ujian dari Allahﷻ. Mimpi dalam Al-Qur’an selalu memiliki makna yang signifikan, baik sebagai peringatan, kabar gembira, maupun tanda kekuasaan Allahﷻ. Namun, tidak semua mimpi dalam kehidupan sehari-hari memiliki kedudukan seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an.
Diki Candra