Banyak pihak sudah menyuarakan krisis pangan yang akan segera datang. Hal ini tidak hanya menimpa negara tertentu tapi juga komunitas global. Kira-kira kapan ini akan terjadi? Hanya dalam beberapa bulan ke depan!
Bagaimana Ini Bisa Terjadi?
Kita perlu tahu, bahwa makanan yang kita santap hari ini adalah hasil panen dari proses tanam beberapa bulan sebelumnya. Ada istilah pasokan makanan 90 hari. Artinya, kalau kita menanam bahan pangan hari ini, maka 90 hari ke depan bahan pangan akan segera ready.
Masalahnya, siapa juga yang mau tanam bahan pangan di tengah kondisi saat ini, dimana harga pupuk kini menjulang tinggi akibat krisis ekonomi global.
“Dengan naiknya nitrogen, kalium dan fosfor (yang merupakan komponen utama pupuk), saat ini bercocok tanam adalah hal mahal yang bisa dilakukan para petani di seluruh dunia. Petani hanya bisa menanam sedikit dari luas lahan yang ia miliki, Mahalnya pupuk menjadi masalah yang cukup serius. Ini akan berimbas pada penurunan pasokan makanan bagi dunia.” Demikian ungkap David Friedberg.
FAO selaku organisasi pangan dan pertanian dunia mencatat, bahwa kenaikan harga bahan pangan di bulan Maret 2022 secara global, sudah mencapai 12,64%, atau meningkat 2 kali lipat dari bulan sebelumnya. Ini jelas rekor yang sangat tinggi. Mengingat lonjakan harga ini dikhawatirkan dapat memicu kerusuhan, seperti yang terjadi di Peru, Sri Lanka hingga Mesir.
Bahkan, Perancis sudah berencana untuk memberlakukan sistem voucher makanan di negaranya dalam waktu dekat.
Bagaimana dengan NKRI?
Apa kabarmu NKRI? Apa kabar saudaraku yang ada di Palestina, pengungsi Afganistan & pengungsi Ukraina hari ini?
Mulai bulan Mei 2022 NKRI sudah mulai memasuki musim kemarau. Sudahkah kita mampu untuk mengantisipasinya? Kota & Kabupaten mana yang tahun 2021 masih mengalami krisis air bersih? Benarkah di tahun ini sudah tak mengalami krisis air bersih lagi?
Berapa hektar sawah, ladang & kebun palawija yang puso dampak musim kemarau. Akankah kita mampu mengantisipasinya agar tetap bisa panen raya & tak tergantung terus dengan beras import setiap tahunnya?
Lalu Mampukah tim Tagana (Tanggap Bencana), & institusi terkait serta masyarakat setempat sudah 100% siap bila ada kebakaran hutan yang datang tiba-tiba atau sengaja dibakar untuk kebun sawit dsb?
Sudah siapkah Tim Work Dwi para Pakar ITB, UI, Unsud, & UniBraw serta PTN/PTS lainnya membuat mesin pengubah air laut menjadi air mineral dengan pH yang standart untuk kesehatan manusia?Agar saat musim kemarau tiba, tak ada lagi rakyat jelata yang berjalan kaki puluhan kilometer untuk mendapatkan air bersih untuk keperluan hidupnya? Atau masih ada 12% dari rakyat Indonesia belum bisa menikmati air bersih setelah hampir seratus tahun Indonesia merdeka.
Kelangkaan Minyak Goreng
Setelah berpekan-pekan terjadi krisis minyak goreng, saat ini jumlah minyak goreng di pasaran melimpah ruah namun dengan harga yang melambung tinggi. Kenaikan harga yang terjadi karena kelangkaan minyak sawit tentu menjadi pertanyaan besar. Pasalnya, sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia.
Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton. Pertumbuhan rata-rata pertahunnya mencapai 3,61 persen. Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton.
Lalu Mengapa Krisis Ini Terjadi?
Ada dua penyebab utama. Pertama, kuat dugaan telah terjadi kartel, yaitu penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen.
Mereka bekerja sama satu sama lain untuk mengeruk keuntungan dan menguasai pasar. Hal ini mungkin saja terjadi. Pasalnya, mulai dari perkebunan sawit hingga produksi minyak goreng sawit, hanya segelintir orang saja penguasanya.
Ketua KPPU Ukay Karyadi mengatakan, “Struktur bisnis minyak goreng dalam negeri cenderung dikuasai oleh segelintir korporasi besar yang memiliki kekuatan untuk mengontrol harga.” KPPU mengungkapkan bahwa 46,5% pangsa pasar minyak goreng di dalam negeri, hanya empat produsen besar saja yang menguasai.
Pertama, KPPU menemukan pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng. Hal ini menguatkan dugaan adanya praktik kartel seiring meningginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu. Merekalah yang mengeruk keuntungan besar di tengah derita rakyat akibat krisis minyak goreng.
Kedua, salah kelola oleh negara. Kelangkaan minyak goreng juga dapat menjadi akibat dari Pemerintah mengizinkan para pengusaha tetap mengekspor minyak goreng keluar negeri di tengah kelangkaan barang.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengungkapkan, “Telah terjadi kebocoran minyak goreng murah yang dijual ke luar negeri.”
Ia menyebutkan, “Telah terjadi ekspor 415 juta liter sejak 14 Februari 2022 lalu.”
Kelangkaan minyak goreng sawit ini juga akibat kebijakan Pemerintah bersama pengusaha menjadikan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) untuk keperluan biodiesel.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat konsumsi minyak sawit mentah di dalam negeri justru jauh lebih banyak digunakan untuk biodiesel dengan volume setara 732.000 ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi minyak goreng. Yaitu proyek pengembangan biodiesel milik Pemerintah di bawah pengelolaan Pertamina untuk mendapatkan bahan bakar alternatif.
Lalu, mengapa pengusaha minyak sawit menjual ke Pemerintah untuk keperluan biodisel? Sebabnya, Pemerintah membeli dari para pengusaha dengan harga internasional. Jauh lebih mahal dibandingkan harga minyak goreng yang dijual ke dalam negeri untuk keperluan rakyat.
Kelangkaan Gandum
Sebelum kenaikan harga minyak sawit, telah terjadi kenaikan harga gandum di pasaran. Dalam waktu sebulan, harga gandum naik 24%. Stok gandum Indonesia bergantung pada situasi kedua negara yaitu” Rusia-Ukraina,” yang mana keduanya merupakan negara pemasok gandum terbesar di Indonesia. Krisis yang melanda Rusia-Ukraina menyebabkan harga gandum naik ke rekor tertinggi dalam 9 tahun.
Kelangkaan Kedelai
Senasib dengan gandum, harga kedelai import yang terus merangkak naik menjadi penyebab harga tahu dan tempe mengalami kenaikan. Mahalnya kedelai import juga dipicu oleh kondisi negara pemasok yang mengalami gagal panen karena cuaca yang memburuk sepanjang tahun. Fakta ini membuktikan bahwa kondisi pangan Indonesia benar-benar bergantung pada situasi di negara pengekspor. Indonesia merupakan importir kedelai terbesar kedua di dunia setelah Cina, sedangkan eksportir kedelai terbesar dunia saat ini ditempati Brazil dan AS.
Adapun kebutuhan kedelai nasional Indonesia yang nyaris tiga juta ton per tahun ini (berdasarkan BPS 2021) sebagian besarnya di-import dari AS (86% dari total impor kedelai). Sisanya dari Kanada, Argentina, Brazil, dan Malaysia.
Sebenarnya, Indonesia pernah swasembada kedelai pada 1992 sehingga anggapan bahwa kedelai adalah tanaman subtropis dan tidak cocok penanamannya di Indonesia adalah keliru. Hal ini pun telah terbukti melalui berbagai riset penelitian. Oleh sebab itu, penurunan produksi bukan karena iklim Indonesia yang tropis, melainkan kebijakan Pemerintah yang tidak memihak petani.
Penyebab produksi menurun adalah akibat luas lahan yang terus berkurang. Hal ini merupakan imbas dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian menjadi infrastruktur. Selain itu, harga pupuk dan benih juga mahal. Dikarenakan Pemerintah mencabut subsidi secara bertahap pada pupuk dan benih.
Harga kedelai impor juga sering kali lebih murah dari harga lokal, hal ini disebabkan pemberlakuan tarif impor hingga 0%. Semua ini membuat para petani tidak bergairah untuk menanam kedelai karena insentifnya sangat kecil. Akhirnya para petani memilih berhenti menanam kedelai. Padahal, kebutuhan kedelai makin tinggi seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Pengamat dari The Future Institute, Abdullah Amas menyebutkan, “Ketergantungan Indonesia kepada import pangan di segala kebutuhan mulai beras, daging, cabe, gula, garam dan lainnya, akan mengakibatkan krisis yang cukup ekstrem. Ditambah lagi dengan adanya perang dunia ketiga yang akan terjadi dimasa mendatang dimana gejolaknya telah dimulai sejak tahun ini, diperkirakan 2023 akhir Indonesia akan memasuki krisis kelaparan yang dahsyat.”
Bagaimana Antisipasinya?
Langkah antisipasi juga menyusul efek bom nuklir yang membuat menggilanya krisis air bersih dan energi. Cara untuk menghindarinya adalah membuat lumbung pangan di gunung-gunung, serta membuat persediaan bahan pangan minimal selama setahun atau sampai lima tahun.
“Saat memasuki tahun-tahun krisis beberapa tahun (1-5 tahun) mendatang, kurangi dulu tenaga untuk politik praktis. Sebab, kita setelahnya memasuki krisis politik dalam negeri yang dashyat berupa situasi kacau yang membuat hukum dan keamanan dalam negeri terancam. Juga kedepannya Tsunami gila-gilaan yang masih menghantui bumi pertiwi sesuai prediksi BMKG.” Ujar Amas.
Tahun 2022 sampai 2023 akhir adalah saat-saat kita masih bisa tersenyum.
“Setelah itu saya ibaratkan situasi seperti lampu di ruangan tiba-tiba mati dan semua orang gaduh. Seluruh isi hati dan kepanikan keluar. Situasi ketidakpastian akan membuat kita tak lagi bisa berbuat banyak kecuali bertahan. Yang penting bisa makan dan dapat keamanan di tempat terpencil.” Tegas Amas.