Seorang Arab Baduwi ditanya, “Apakah bukti tentang adanya Allah Azza wa Jalla?” Dia menjawab, “Subhnallah (Maha Suci Allah)! Sesungguhnya kotoran onta menunjukkan adanya onta, bekas telapak kaki menunjukkan adanya perjalanan! Maka langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki jalan-jalan, lautan yang memiliki ombak-ombak, tidakkah hal itu menunjukkan adanya al-Lathif (Allah Yang Maha Baik) al-Khabr (Maha Mengetahui).” [Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Baqarah, ayat ke-21]
Arab badui dikenal sebagai suatu suku qabilah arab yang senantiasa mengembara dan berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sambil menggembala kambing, bahkan bukan hanya itu saja, mereka di kenal sebagai suatu qabilah yang sangat kurang tatakrama, kasar dalam bersikap, dan lain sebagainya. Namun, walaupun mereka kurang tatakrama dan kasar dalam sikapnya, akan tetapi kecerdasannya dalam berpikir menjadikannya sebagai sesuatu yang istimewa, dan tentunya sangat layak di perhatikan.
Kisah seorang badui di atas, menunjukkan betapa cerdas pemikirannya dalam menjawab pertanyaan yang di ajukan mengenai keberadaan sang maha pencipta yakni Allahﷻ. Ia mampu mengaitkan segala sesuatu yang dapat di jangkau dengan indra dan akal(objek fakta), kepada sesuatu yang tidak dapat di jangkau dengan indra maupun akal(hal ghaib), untuk menjawab pertanyaan tersebut secara tepat dan benar serta secara rasional.
Padahal pertanyaan tersebut sejatinya berhubungan dengan sesuatu yang tidak dapat di jangkau (hal ghaib), baik dengan jalan pengindra-an ataupun akal. Namun ia mampu membuktikan keberadaan sesuatu yang tidak dapat di jangkau tersebut, menjadi sesuatu yang mampu di jangkau dengan jalan pengindra-an dan akal.
Syaikh Taqiyuddin An-nabhani menyatakan “Walhasil, Aktivitas berfikir tidak mungkin terwujud kecuali adanya fakta yang bisa di indra oleh manusia. Namun terdapat sejumlah objek atau perkara yang memiliki fakta, Tetapi fakta tersebut tidak mungkin dapat di indra oleh manusia, akan tetapi pengaruh/bekas (effect/atsar) fakta tersebut dapat di indra oleh manusia.[Proses berfikir/At-tafkir, 54]
Keberadaan sang pencipta tidak dapat di jangkau baik melalui pengindra-an ataupun akal, namun keberadaan sang pencipta dapat di jangkau melalui pengindraan terhadap adanya makhluk atau ciptaannya. Adanya gunung, lautan, awan, bumi beserta isinya, dan lain sebagainya, menunjukkan adanya sang pencipta yakni Allah swt.
Begitu pula dengan mimpi-mimpi Muhammad qasim dari pakistan. Mimpi-mimpi tersebut tidak dapat di indra dan di jangkau, karena tidak ada satupun manusia yang dapat menyaksikan mimpi orang lain secara langsung. Akan tetapi bukan berarti mimpi tersebut tidak memiliki fakta, sebab pengaruh/bekas dari mimpi tersebut dapat di jangkau, baik dengan pengindra-an ataupun akal. Ketika seseorang berkata “Aku telah bermimpi bertemu nabiﷺ ” maka secara otomatis pengindra-an dan akal serta pikiran, akan dapat menangkap dan menggambarkannya bahwa mimpi tersebut, sebagai sebuah objek fakta.
Hal tersebut sekaligus membantah anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa mimpi merupakan hal ghaib yang tidak memiliki fakta. Sehingga menjadikan mimpi sebagai sebuah kebenaran, sulit untuk diterima.
Padahal pada kenyataannya, Mimpi merupakan salah satu bentuk dari tanda-tanda kekuasaan Allahﷻ. Tidak ada satupun makhluk yang mampu menciptakan mimpi, -walaupun hanya satu mimpi saja- Sekalipun seluruh manusia dan jin bersatu padu untuk menciptakan sebuah mimpi. Andai saja sebuah mimpi dapat di ciptakan ataupun di buat-buat, tentu akan sangat banyak sekali orang-orang yang bermimpi bertemu allah dan baginda nabi saw.
Jika saja seorang arab badui mampu membuktikan keberadaan allahﷻ dengan melihat berbagai macam ciptaannya, Tidakkah kita mampu meyakinkan diri sendiri bahwa mimpi-mimpi yang di alami Muhammad qasim merupakan bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allahﷻ.
Mimpi-mimpi Muhammad qasim, selain sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah, juga sebagai rahmat Allahﷻ yang terkandung di dalamnya berupa kabar gembira serta peringatan, sekaligus menjadi petunjuk bagi orang-orang yang berpikir laksana Arab baduwi.
Wallahu A’lam.
Penulis : Hanafi