Istilah mubasyirat dalam konteks Islam biasanya merujuk pada kabar gembira atau mimpi baik yang diberikan oleh Allahﷻ kepada hamba-Nya sebagai bentuk petunjuk atau penghiburan. Dalam beberapa hadis shahih, Rasulullahﷺ menyebutkan bahwa mubasyirat adalah salah satu cara Allahﷻ memberikan petunjuk, terutama di akhir zaman. Dan Mubasyirat Sebagai Petunjuk dan Penafsir.
Contohnya dalam sebuah hadist riwayat Imam Bukhari, Rasulullahﷺ bersabda:
“Tidak tersisa dari kenabian kecuali al-mubasyirat.” Para sahabat bertanya, “Apa itu al-mubasyirat?” Beliau menjawab, “Mimpi yang baik.” (HR. Bukhari, no. 6990)
Namun, dalam konteks memutuskan perbedaan atau perkara hukum, Islam memiliki prinsip yang jelas, bahwa sumber utama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi). Mimpi, termasuk mubasyirat, tidak dapat dijadikan landasan hukum syar’i atau alat utama dalam memutuskan perkara, karena mimpi bersifat subjektif dan tidak universal.
Jika ada perbedaan di akhir zaman, umat Islam tetap diarahkan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullahﷺ. Allahﷻ berfirman:
“Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allahﷻ (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allahﷻ dan Hari Kemudian.” (QS. An-Nisa: 59).
Jadi kesimpulannya, mubasyirat dapat menjadi petunjuk pribadi dan motivasi spiritual, tetapi tidak menggantikan peran wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) dalam menyelesaikan perbedaan secara kolektif atau hukum syar’i.
Mubasyrat (mimpi benar) sering dianggap sebagai salah satu cara Allahﷻ memberikan petunjuk atau wawasan kepada umat-Nya. Namun dalam konteks penafsiran perbedaan pandangan para ulama, mubasyirat biasanya tidak digunakan sebagai penengah langsung. Penafsiran atas perbedaan pendapat dalam masalah fiqh atau teologi lebih banyak bergantung pada hujah-hujah ilmiah, dalil-dalil syar’i, dan pendekatan metodologis yang diterima dalam tradisi ilmiah Islam.
Namun, dalam beberapa kasus, ada beberapa ulama atau tokoh yang menganggap mimpi benar sebagai salah satu cara untuk memperoleh petunjuk dalam hal-hal tertentu. Tetapi hal ini lebih kepada pengalaman pribadi dan bukan sebagai sumber utama dalam penentuan hukum atau pemahaman agama.
Tidak ada kitab tertentu yang secara khusus membahas mubasyirat sebagai penengah perbedaan penafsiran ulama. Namun, terdapat beberapa kitab yang membahas mimpi secara umum dalam konteks agama, seperti:
1. “Tafsir al-Ahlam” oleh Ibn Sirin – Kitab ini adalah salah satu kitab terkenal yang membahas tentang tafsir mimpi dalam tradisi Islam.
2. “Al-Durar al-Bahiyyah” – Kitab ini juga membahas tafsir mimpi dengan pendekatan yang lebih umum.
3. “Al-Muqaddimah” oleh Ibn Khaldun – Walaupun tidak khusus membahas mimpi, Ibn Khaldun membahas tentang metodologi ilmu dan pemahaman dalam tradisi ilmiah Islam, yang bisa menjadi landasan dalam penafsiran perbedaan pendapat.
Namun secara umum, perbedaan pendapat ulama lebih sering dibahas dengan pendekatan rasional dan tekstual, bukan dengan merujuk pada mimpi.
Diki Candra